contoh judul skripsi kedokteran

>> Saturday, June 5, 2010

The following is a medical thesis titles that you can make reference:
  • DAYA ANTIHELMINTIK EKSTRAK TEMU KUNCI (BOESEN BERGHIA PANDURABI, ROXB) TERHADAP ASCARIDIA GALLI SECARA IN VITRO (2000)
  • PENGARUH STRESSOR PSIKOSOSIAL TERHADAP DEPRESI PADA TENAGA KERJA WANITA SEKTOR INDUSTRI TEKSTIL DI KOTAMADYA YK (1997)
  • KEANEKARAGAMAN GENETIK AEDES ALBOPICTUS SKUSE (DIPTERA : CULICIADE) VEKTOR DENGUE DAN RESPONNYA TERHADAP MATION DAN TEMEFOS (2004)
  • PENGARUH EKSTRAK KOPI TERHADAP AKTIVITAS BLATTA SP DAN PERIPLANETTA SP DI LABORATORIUM (1996)
  • PENATALAKSANAAN KASUS-KASUS INFERTILITAS DI RSUD DR. SARDJITO TAHUN 1987/1988 SUATU PENELITIAN DESKRIPTIF DI LABORATORIUM ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
  • TEST FAAL HATI SEBAGAI PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA PENYAKIT HATI MENAHUN DI RSUD DR. SARDJITO YK (1989)
  • KORELASI ANTARA BERAT HAIT DAN BERAT BADAN SAPI BALI JANTAN UMUR 1,5-2 TAHUN DI KAB. KOLAKA SULTRA (2001)
  • PERBANDINGAN KEPARAHAN MALOKLUSI DAN KEBUTUHAN PERAWATAN ORTODONTIK DENGAN MENGGUNAKAN DENTAL AESTHETIC INDEX PADA REMAJA JAWA DAN CINA DI KOTA YK (2001)
  • DAYA ANTIBAKTERI EKSTRAK BUAH MAHKOTA DEWA (PHALERIA MCROTARPA (SCHIFF) BOERL) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI STREPTOKOKUS ALFA SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN STERILISASI SALURAN AKAR (KAJIAN IN VITRO) (2002)
  • DAYA ANTIBAKTERI EKSTRAK BUAH MAHKOTA DEWA (PHALERIA MCROTARPA (SCHIFF) BOERL) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI STREPTOKOKUS ALFA SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN STERILISASI SALURAN AKAR (KAJIAN IN VITRO) (2002)
  • DAYA ANTIBAKTEI BAHAN IRIGASI SALURAN AKAR SODIUM HIPOKLORIT 5,25% AN LIDOKAIN HCL 2% YANG MENGANDUNG ANDRENALIN TERHADAP ENTEROCOCCUS FAECALIS (KAJIAN IN VITRO) (2003)
  • PENGARUH CARA TRITURASI AMALGAM TERHADAP KEBOCORAN MIKRO RESTORASI KAVITAS KELAS I AMALGAM (KAJIAN IN VITRO) (2003)
  • PERBANDINGAN NILAI FREKUENSI DENYUT JANTUNG DAN PULSUS BURUNG MERPATI (COLUMBA LIVIA) SELAMA TERANESTESI DENGAN KETAMIN HIDROKLORIDA, KOMBINASI XYLAZIN KETAMIN HIDROKLORIDA DAN DIAZEPAM-KETAMIN HIDROKLORIDA (2005)
  • PERBANDINGAN NILAI FREKUENSI DENYUT JANTUNG DAN PULSUS BURUNG MERPATI (COLUMBA LIVIA) SELAMA TERANESTESI DENGAN KETAMIN HIDROKLORIDA, KOMBINASI XYLAZIN KETAMIN HIDROKLORIDA DAN DIAZEPAM-KETAMIN HIDROKLORIDA (2005)
  • PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK AIR DAUN SALAM (EUGENNIA POLYANTHA W) TERHADAP KADAR KOLESTEROL SERUM TERHADAP TIKUS PUTIH (1999)
  • FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENURUNAN AKTIVITAS FISIK DASAR DAN INSTRUMEN PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 USIA LANJUT DI RSUD DR. SARDJITO (2005)
  • MANAJEMEN STROK ISKEMIK AKUT (1999)
  • ANGIOGENESIS DAN PROGRESIFITAS KARSIPITAS KARSINOMA NASOFARINGS (2004)
  • PERBEDAAN RATA-RATA INTELEGENSI (IQ) DAN PRESTASI BELAJAR SISWA SEKOLAH DASAR YANG MENDERITA DAN TIDAK MENDERITA GONDOK DI DAERAH ENDEMIX GAXI BERAT KEC. CANGKRINGAN KAB. SLEMAN (2005)
  • KEKUATAN GESER PEREKATAN BRAKET LOGAM PADA PERMUKAAN PORSELIN GIGI YANG DIKASARKAN SECARA MANULA MENGGUNAKAN GRINDING STRIP DI IKUTI ETSA APF 1,123% (2005)
  • PERBANDINGAN KEKUATAN GESER BRAKET REKAT ULANG DENGAN DUA MACAM TEKNIK PEMBERSIHAN BAHAN PEREKAT (2005)
  • PERBANDINGAN KEKUATAN GESER DAN TARIK ANTARA PEREKATAN BRAKET SERAMIK DENGAN SELF ETCHING PRIMER DAN RESIN KOMPOSIT ETSA AKTIVITASI SINAR (2005)
  • PERBANDINGAN KEKUATAN PEREKATAN ANTARA BRAKET KOMPUSIT DAN BRAKET LOGAM PADA GIGI MENGGUNAKAN SEMEN IONOMER KACA POLIMERISASI SINAR (2003)
  • PERBANDINGAN BESAR GAYA GESEK KAWAT BUSUR SEGI EMPAT NIRKARAT PADA BRAKET LOGAM ANTARA TEKNIK LIGASI LIGATUR KAWAT DAN ELASTOMER (2005)
  • PENGARUH AMALGAM TERHADAP PELEPASAN ION NIKEL KAWAT BUSUR OTRTODONTIK CEKAT AUSTRALIA DAN NIKEL TITANIUM (STUDI LABORATORIS PADA LINGKUNGAN SALIVA TIRUAN PH NORMAL) – 05
  • PENGARUH DISKREDASI UKURAN GIGI TERHADAP OKLUSI SETELAH PERAWATAN ORTODONTIK DENGAN PENCABUTAN 4 GIGI PREMOLAR PERTAMA (PENDEKATAN ANALISIS BLTON DAN 6 KUNCI OKLUSI ADRESUS) – 05
  • KEKUATAN GESER PEREKATAN BRAKET LOGAM PADA PERMUKAAN PORSELIN GIGI YANG DIKASARKAN SECARA MANUAL MENGGUNAKAN GRINDING STRIP DI IKUTI ETSA APF 1,123% PENELITIAN EKSPERIMENTAL LABORATORIS – 05
  • KEKUATAN PERLEKATAN GESER DAN TARIK SEMEN IONOMER KACA MODIFIKASI SEBAGAI BAHAN PEREKAT BRAKET BEGG LOGAM DENGAN DAN TAMPA ETSA (PENELITIAN EKSPERIMENTAL LABORATORIS) – 02
  • PERBEDAAN KEKUATAN GESER DAN TARIK BRAKET BEGG LOGAM YANG DILEKATKAN MEMAKAI BAHAN PEREKAT AKTIFAI KIMIAWI YANG MENGANDUNG FLUORID DAN YANG TIDAK MENGANDUNG FLUROID – 01
  • PENGARUH KONTAMINASI SALIVA PADA PEREKATAN RESIN KOMPOSIT HIDROFILIK DENGAN AKTIVASI SINAR TAMPAK TERHADAP KEKUATAN GESER DAN TARIK BEGG LOGAM - 05
  • PENGARUH WAKTU PERENDAMAN DALAM SALIVA BUATAN TERHADAP PELEPASAN ION KAWAT AUSTRALIA (KAJIAN LABORATORIS IN VITRO) (2005)
  • PERBANDINGAN KEKUATAN GESER BRAKET KERAMIK RETENSI MEKANIS REKAT ULANG DENGAN DUA TEKNIK PEMBERSIHAN BAHAN PEREKAT (2005)
  • PENGARUH PENAMBAHAN KLOREKSIDIN ASETAN 2% PADA BAHAN PEREKAT IONOMER KACA UNTUK WAKTU PELEKATAN 30 MENIT DAN 24 JAM TERHADAP KEKUATAN TARIK BRAKET ORTODONTIK (2002)
  • PERBANDINGAN KEKUATAN GESER DAN TARIK ANTARA BRAKET LOGAM DENGAN BRAKET SERAMIK SISTEM PELEKATAN LANGSUNG MENGGUNAKAN KOMPOSIT AKTIVASI SINAR TAMPAK (2002)
  • PERBEDAAN KELARUTAN GUTA PERCA DALAM BAHAN PELARUT KLOROFORM DAN BAHAN PELARUT XILENA SEBAGAI BAHAN PENGISI SALURAN AKAR GIGI (2000)
  • PERAWATAN ORTODONSI SETALAH SURGICAL EKSPOSURE PADA GIGI INSISIVUS SENTRALIS RAHANG ATAS YANG MENGALAMI INFEKSI DENGAN POSISI ERUPSI TERBALIK PADA ANAK (LAPORAN KHUSUS) (2005)
  • KTI HBU. MAKANAN SELINGAN TERHADAP KARIES GIGI PADA SISWA SDN KADIPIRO I BANTUL (2006)
  • KTI GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG MAKANAN KARIOGENIK TERHADAP KARIES PADA SISWA KELAS IV SD PETINGGEN I YK (2004)
  • KTI FAKTOR PENYEBAB PENGERASAN AMALGAM TERLALU LAMA (2001)
  • KTI PENGARUH MAKANAN MENGANDUNG ENERGI DAN PROTEIN TERHADAP PERTUMBUHAN GIGI SUSU ANAK BALITA USIA 30 BULAN DI POSYANDU PUSKESMAS DEPOK YK (2003)
  • KTI PERBEDAAN SKOR PLAK DENGAN MENYIKAT GIGI MENGGUNAKAN BULU JENIS SOFT DAN MEDIUM PADA ANAK UMUR 10-13 TH DI SDN KAYI MOJO YK (2004)
  • PENGARUH POLA MAKAN 4 SEHAT 5 SEMPURNA DAN KETERATURAN MAKAN TERHADAP ANGKA KARIES GIGI PADA ANAK USIA PRA SEKOLAH DI TK NEGERI II YK (2003)
  • KTI PENGARUH UPAYA KESEHATAN OLEH GURU TERHADAP TINGKAT KEBERSIHAN GIGI DAN MULUT SISWA UMUR 10-12 TAHUN DI SD JUMENENGAN KIDUL WILAYAH KERJA PUSKESMA MLATI II SLEMAN (2003)
  • KTI PENGARUH PADA MAKAN TERHADAP ANGKA KARIES PADA ANAK TK ABA SLEMAN UMUR 4-5 TAHUN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SLEMAN (2003)
  • HUB. MAKAN SELINGAN TERHADAP ANGKA KARIES GIGI PADA SISWA SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU HIDAYATULLOH KEC. NGAGLIK SLEMAN
  • KTI PERBEDAAN SKOR PLAK DENGAN MENYIKAT GIGI MENGGUNAKAN BULU JENIS SOFT DAN MEDIUM PADA ANAK UMUR 10-13 TH DI SDN KAYI MOJO YK (2004)
  • TEKNIK PEMERIKSAAN SINUS PARANASOL DI INSTALASI RADIOLOGI RSUD KARANGANYAR
  • PEMBERIAN OBAT TUNGGAL DAN KOMBINASI PADA PASIEN DIABETES MELITUS RAWAT JALAN DAN RAWAT INAP DI RSUD PKU MUHAMMADIYAH YK PERIODE 1 JANUARI 05 – 31 DESEMBER 02 (2006)
  • FAKTOR RESIKO PADA PASIEN HIPERTENSI YANG DIRAWAT DI BANGSAL KELAS III RSU PKU MUH YK (2006)
  • EFEK NYERI AKUT PASKA PEMBEDAAN TERHADAP KUALITAS HIDUP YANG DIPENGARUHI KESEHATAN (2004)
  • KTI HUB. ANTARA DEPRESI DENGAN PENYALAHGUNAAN OBAT PADA SANTRI
  • KTI PENCEGAHAN KARIES BARU PADA ANAK BERDASARKAN URUTAN FAKTOR RESIKO DAN REKOMENDASI DARI KARIOGRAM IBU DAN ANAK (2005)
  • HUB. STATUS KEBERSIHAN MULUT DAN KESEHATAN GINGRUVA DENGAN RASA PERCAYA DIRI PASIEN DI BAGIAN PERIODENSIA (1999)
READ MORE - contoh judul skripsi kedokteran

Read more...

askep apendisitis

>> Friday, June 4, 2010

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN APENDISITIS

1. Pengertian

Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001).

Apendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur. (Anonim, Apendisitis, 2007).

Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, usus buntu itu bisa pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum (cecum). Usus buntu besarnya sekitar kelingking tangan dan terletak di perut kanan bawah. Strukturnya seperti bagian usus lainnya. Namun, lendirnya banyak mengandung kelenjar yang senantiasa mengeluarkan lendir. (Anonim, Apendisitis, 2007)

Apendisitis merupakan peradangan pada usus buntu/apendiks (Anonim, Apendisitis, 2007).


2. Klasifikasi

Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni :
  1. Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.

  2. Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua.


3. Etiologi

Appendiksitis merupakan infeksi bakteri yang disebabkan oleh obstruksi atau penyumbatan akibat :

  1. Hiperplasia dari folikel limfoid.
  2. Adanya fekalit dalam lumen appendiks.
  3. Tumor appendiks.
  4. Adanya benda asing seperti cacing askariasis.
  5. Erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. Histilitica.

Menurut penelitian, epidemiologi menunjukkan kebiasaan makan makanan rendah serat akan mengakibatkan konstipasi yang dapat menimbulkan appendiksitis. Hal tersebut akan meningkatkan tekanan intra sekal, sehingga timbul sumbatan fungsional appendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman flora pada kolon.


4. Tanda dan gejala

Nyeri terasa pada abdomen kuadran bawah dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney bila dilakukan tekanan. Nyeri tekan lepas mungkin akan dijumpai.

Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi appendiks. Bila appendiks melingkar di belakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbal ; bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini hanya dapat diketahuipada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan bahwa ujung appendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekeakuan pada bagian bawah otot rektum kanan dapat terjadi.

Tand Rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri, yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa pada kuadran bawah kanan. Apabila appendiks telah ruptur, nyeri dan dapat lebih menyebar ; distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi klien memburuk.


5. Patofisiologi (pathway Appendiksitis)

Penyebab utama appendiksitis adalah obstuksi penyumbatan yang dapat disebabkan oleh hiperplasia dari polikel lympoid merupakan penyebab terbanyak adanya fekalit dalam lumen appendik.Adanya benda asing seperti : cacing,striktur karenan fibrosis akibat adanya peradangan sebelunnya.Sebab lain misalnya : keganasan (Karsinoma Karsinoid).

Obsrtuksi apendiks itu menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung, makin lama mukus yang terbendung makin banyak dan menekan dinding appendiks oedem serta merangsang tunika serosa dan peritonium viseral. Oleh karena itu persarafan appendiks sama dengan usus yaitu torakal X maka rangsangan itu dirasakan sebagai rasa sakit disekitar umblikus.

Mukus yang terkumpul itu lalu terinfeksi oleh bakteri menjadi nanah, kemudian timbul gangguan aliran vena, sedangkan arteri belum terganggu, peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritomium parietal setempat, sehingga menimbulkan rasa sakit dikanan bawah, keadaan ini disebut dengan appendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu maka timbul alergen dan ini disebut dengan appendisitis gangrenosa. Bila dinding apendiks yang telah akut itu pecah, dinamakan appendisitis perforasi.

Bila omentum usus yang berdekatan dapat mengelilingi apendiks yang meradang atau perforasi akan timbul suatu masa lokal, keadaan ini disebut sebagai appendisitis abses. Pada anak – anak karena omentum masih pendek dan tipis, apendiks yang relatif lebih panjang , dinding apendiks yang lebih tipis dan daya tahan tubuh yang masih kurang, demikian juga pada orang tua karena telah ada gangguan pembuluh darah, maka perforasi terjadi lebih cepat. Bila appendisitis infiltrat ini menyembuh dan kemudian gejalanya hilang timbul dikemudian hari maka terjadi appendisitis kronis (Junaidi ; 1982).


6. Komplikasi
  • Perforasi dengan pembentukan abses
  • Peritonitis generalisata.
  • Pieloflebitis dan abses hati, tapi jarang.

7. Pencegahan

Pencegahan pada appendiksitis yaitu dengan menurunkan resiko obstuksi dan peradangan pada lumen appendiks. Pola eliminasi klien harus dikaji,sebab obstruksi oleh fekalit dapat terjadi karena tidak ada kuatnya diit tinggi serat.Perawatan dan pengobatan penyakit cacing juga menimbulkan resiko. Pengenalan yang cepat terhadap gejala dan tanda appendiksitis menurunkan resiko terjadinya gangren,perforasi dan peritonitis.


8. Penatalaksanaan

Pada appendiksitis akut, pengobatan yang paling baik adalah operasi appendiks. Dalam waktu 48 jam harus dilakukan. Penderita di obsevarsi, istirahat dalam posisi fowler, diberikan antibiotik dan diberikan makanan yang tidak merangsang persitaltik, jika terjadi perforasi diberikan drain di perut kanan bawah.

  • Tindakan pre operatif, meliputi penderita di rawat, diberikan antibiotik dan kompres untuk menurunkan suhu penderita, pasien diminta untuk tirabaring dan dipuasakan.
  • Tindakan operatif ; appendiktomi.
  • Tindakan post operatif, satu hari pasca bedah klien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2 x 30 menit, hari berikutnya makanan lunak dan berdiri tegak di luar kamar, hari ketujuh luka jahitan diangkat, klien pulang.


Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Appendiksitis


A. Pengkajian
  1. Identitas Pasien
    Identitas klien Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, alamat, dan nomor register.

  2. Riwayat Keperawatan
    • Riwayat Kesehatan saat ini : keluhan nyeri pada luka post operasi apendektomi, mual muntah, peningkatan suhu tubuh, peningkatan leukosit.
    • Riwayat Kesehatan masa lalu

  3. Pemeriksaan Fisik
    • Sistem kardiovaskuler : Untuk mengetahui tanda-tanda vital, ada tidaknya distensi vena jugularis, pucat, edema, dan kelainan bunyi jantung.
    • Sistem hematologi : Untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan, mimisan splenomegali.
    • Sistem urogenital : Ada tidaknya ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit pinggang.
    • Sistem muskuloskeletal : Untuk mengetahui ada tidaknya kesulitan dalam pergerakkan, sakit pada tulang, sendi dan terdapat fraktur atau tidak.
    • Sistem kekebalan tubuh : Untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening.

  4. Pemeriksaan Penunjang
    • Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi.
    • Pemeriksaan foto abdomen : untuk mengetahui adanya komplikasi pasca pembedahan.

Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul

  1. Nyeri berhubungan dengan luka insisi pada abdomen kuadran kanan bawah post operasi appenditomi.

  2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan pembatasan gerak skunder terhadap nyeri.

  3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasive appendiktomi.

  4. Resiko kekurangan volume cairan sehubungan dengan pembatasan pemasukan cairan secara oral.

Intervensi

Diagnosa Keperawatan 1. :
Nyeri berhubungan dengan luka insisi pada daerah mesial abdomen post operasi appendiktomi

Tujuan
Nyeri berkurang / hilang dengan

Kriteria Hasil :
Tampak rilek dan dapat tidur dengan tepat.

Intervensi
  • Kaji skala nyeri lokasi, karakteristik dan laporkan perubahan nyeri dengan tepat.
  • Pertahankan istirahat dengan posisi semi powler.
  • Dorong ambulasi dini.
  • Berikan aktivitas hiburan.
  • Kolborasi tim dokter dalam pemberian analgetika.
Rasional
  1. Berguna dalam pengawasan dan keefesien obat, kemajuan penyembuhan,perubahan dan karakteristik nyeri.
  2. Menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan posisi terlentang.
  3. Meningkatkan kormolisasi fungsi organ.
  4. meningkatkan relaksasi.
  5. Menghilangkan nyeri.

Diagnosa Keperawatan 2. :
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan pembatasan gerak skunder terhadap nyeri

Tujuan
Toleransi aktivitas

Kriteria Hasil :
  • Klien dapat bergerak tanpa pembatasan
  • Tidak berhati-hati dalam bergerak.

Intervensi
  • catat respon emosi terhadap mobilitas.
  • Berikan aktivitas sesuai dengan keadaan klien.
  • Berikan klien untuk latihan gerakan gerak pasif dan aktif.
  • Bantu klien dalam melakukan aktivitas yang memberatkan.
Rasional
  1. Immobilisasi yang dipaksakan akan memperbesar kegelisahan.
  2. Meningkatkan kormolitas organ sesuiai dengan yang diharapkan.
  3. Memperbaiki mekanika tubuh.
  4. Menghindari hal yang dapat memperparah keadaan.

Diagnosa Keperawatan 3. :
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasive appendiktomi

Tujuan
Infeksi tidak terjadi

Kriteria Hasil :
Tidak terdapat tanda-tanda infeksi dan peradangan

Intervensi
  • Ukur tanda-tanda vital
  • Observasi tanda-tanda infeksi
  • Lakukan perawatan luka dengan menggunakan teknik septik dan aseptik
  • Observasi luka insisi
Rasional
  1. Untuk mendeteksi secara dini gejala awal terjadinya infeksi
  2. Deteksi dini terhadap infeksi akan mudah
  3. Menurunkan terjadinya resiko infeksi dan penyebaran bakteri.
  4. Memberikan deteksi dini terhadap infeksi dan perkembangan luka.

Diagnosa Keperawatan 4. :
Resiko kekurangan volume cairan berhubungna dengan pembatasan pemasuka n cairan secara oral

Tujuan
Kekurangan volume cairan tidak terjadi

Intervensi
  • Ukur dan catat intake dan output cairan tubuh
  • Awasi vital sign: Evaluasi nadi, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
  • Kolaborasi dengan tim dokter untuk pemberian cairan intra vena
Rasional
  1. Dokumentasi yang akurat akan membantu dalam mengidentifikasi pengeluaran cairan atau kebutuhan pengganti.
  2. Indikator hidrasi volume cairan sirkulasi dan kebutuhan intervensi
  3. Mempertahankan volume sirkulasi bila pemasukan oral tidak cukup dan meningkatkan fungsi ginjal

Daftar Pustaka
  1. Barbara Engram, Askep Medikal Bedah, Volume 2, EGC, Jakarta.
  2. Carpenito, Linda Jual, Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, 2000, Jakarta.
  3. Doenges, Marlynn, E, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi III, EGC, 2000, Jakarta.
  4. Elizabeth, J, Corwin, Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.
  5. Ester, Monica, SKp, Keperawatan Medikal Bedah (Pendekatan Gastrointestinal), EGC, Jakarta.
  6. Peter, M, Nowschhenson, Segi Praktis Ilmu Bedah untuk Pemula. Bina Aksara Jakarta
READ MORE - askep apendisitis

Read more...

Tinjauan pelaksanaan kegiatan pondok sayang ibu (PSI) di desa

>> Monday, May 31, 2010

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan ukuran penting dalam menilai keberhasilan pelayanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB) suatu negara. Mortalitas dan morbilitas pada wanita hamil dan bersalin adalah masalah besar di negara berkembang, menurut laporan UNICEF di negara miskin sekitar 25% - 50% kematian wanita usia subur disebabkan karena komplikasi kehamilan, kematian saat melahirkan biasanya menjadi faktor utama kematian ibu karena tidak semua kehamilan berakhir dengan persalinan yang berlangsung normal, hal ini berdasarkan kenyataan bahwa lebih dari 90 % kematian ibu disebabkan komplikasi obstetri. Diperkirakan 15% kehamilan akan mengalami keadaan resiko tinggi dan komplikasi obstetri yang dapat membahayakan kehidupan ibu maupun janinnya bila tidak ditangani dengan memadai. AKI di Indonesia masih tinggi yaitu 334 per 100.000 kelahiran hidup (KH) dan AKB sebesar 21,8 per 1.000 KH (Saifuddin, 2002). Sedangkan AKI di Lampung juga masih tinggi selama tahun 2001 yaitu jumlah kematian maternal 111 dari 134.596 KH (83/100.000 KH), dan jumlah kematian bayi yaitu 4/1000 KH, (Dinas Kesehatan Propinsi Lampung, 2001).

Indonesia menempatkan penurunan AKI sebagai program prioritas mengingat kira-kira 90% kematian ibu terjadi di saat sekitar persalinan dan kira-kira 95% penyebab kematian ibu adalah komplikasi obstetri, maka kebijaksanaan Departemen Kesehatan untuk mempercepat penurunan AKI adalah mengupayakan agar : 1) setiap persalinan ditolong atau minimal didampingi oleh bidan dan pelayanan obstetri sedekat mungkin pada ibu hamil. Memperhatikan AKI dan AKB dapat dikemukakan bahwa : 1) sebagian besar kematian ibu dan perinatal terjadi saat pertolongan pertama, 2) pengawasan antenatal masih belum memadai sehingga menyulitkan kehamilan dengan resti tidak atau terlambat diketahui, 3) masih banyak di jumpai ibu dengan jarak kehamilan pendek, terlalu banyak anak, terlalu muda, dan terlalu tua untuk hamil, 4) jumlah anemia pada ibu hamil cukup tinggi, dan 5) pendidikan masyarakat yang rendah cenderung memilih pemeliharaan kesehatan secara tradisional (Manuaba, 1998).
Untuk menjawab permasalahan tersebut perlu diupayakan program yang memiliki daya ungkit besar dan dilaksanakan dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang ada di masyarakat itu sendiri. Untuk itu digalakkan Gerakan Sayang Ibu (GSI) yang dirintis oleh Kantor Menteri Pemberdayaan Wanita pada tahun 1996. Ruang lingkup GSI meliputi advokasi dan mobilisasi sosial. Dalam pelaksanaannya GSI mempromosikan kegiatan yang berkaitan dengan Rumah Sakit Sayang Ibu dan Kecamatan Sayang Ibu, untuk mencegah 3 keterlambatan yaitu: 1) keterlambatan di tingkat keluarga dalam mengenali tanda bahaya dan membuat keputusan untuk segera mencari pertolongan, 2) keterlambatan dalam mencapai fasilitas pelayanan kesehatan, dan 3) keterlambatan di fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapat pertolongan yang dibutuhkan. Kegiatan yang terkait dengan Kecamatan Sayang Ibu berusaha mencegah keterlambatan pertama dan kedua, sedang kegiatan yang terkait dengan Rumah Sakit Sayang Ibu adalah mencegah keterlambatan ketiga. Menanggapi masalah tersebut tim penggerak PKK Propinsi Lampung mengambil langkah dengan membentuk Pondok Sayang Ibu yang merupakan tempat penampungan sementara bagi ibu hamil yang beresiko tinggi atau ibu hamil lainnya yang membutuhkan pertolongan dalam menghadapi persalinannya (TP.PKK Propinsi Lampung, 1997)
Di Kecamatan Cukuh Balak, Kabupaten Tanggamus merupakan daerah terpencil dengan tingkat ekonomi menengah kebawah. Di wilayah kerja Puskesmas Putih Doh terdapat 3 desa yang memiliki PSI dan salah satunya adalah Desa Badak. Dibanding dengan 2 desa lainnya yaitu : Desa Way Rilau dan Desa Tanjung Jati, Desa Badak merupakan desa yang sasaran ibu hamilnya lebih besar dengan perbandingan Desa Badak 43 orang, Desa Way Rilau 27 orang dan Desa Tanjung Jati 8 orang. Sedangkan perbandingan cakupan K1 (Kunjungan pertama ibu hamil) dari bulan Januari sampai bulan Agustus 2003 yaitu : Desa Badak 22 orang, Desa Way Rilau 15 orang dan Desa Tanjung Jati 5 orang. Adapun cakupan pelayanan KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) di Desa Badak lainnya yaitu : K IV ada 15 orang, deteksi ibu hamil dengan resiko tinggi ada 3 orang, neonatus 20 orang dan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan ada 20 orang. (Data Puskesmas Putih Doh tahun, 2003)
Menurut data pra survey yang dilakukan peneliti pada tanggal 3 November 2003, bahwa di Desa Badak selama tahun 2003 ini ada kematian ibu berjumlah 1 orang yang disebabkan karena perdarahan pada saat persalinan. Dan dari 8 standar kegiatan Pondok Sayang Ibu (PSI) yaitu: 1) membuat daftar seluruh ibu hamil yang ada di desa wilayah PSI, 2) menentukan status ibu hamil apakah kehamilannya beresiko tinggi, 3) membuat hari perkiraan ibu hamil, 4) menampung ibu hamil sementara sebelum dirujuk ke Rumah Sakit (RS), 5) melaksanakan piket kader PSI, 6) membuat daftar piket ambulan desa, 7) membuat daftar pendonor darah, dan 8) pembinaan / pertemuan ibu hamil. Yang dilakukan PSI di Desa Badak hanya 3 kegiatan atau 37,5 % yaitu : 1) menentukan status ibu hamil apakah kehamilannya beresiko tinggi, 2) membuat hari perkiraan ibu hamil, dan 3) membuat daftar piket ambulan desa.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik memilih judul penelitian yaitu Tinjauan Pengelolaan Pondok Sayang Ibu (PSI) di Desa Badak Wilayah kerja Puskesmas Putih Doh Kecamatan Cukuh Balak Kabupaten Tanggamus.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian masalah pada latar belakang, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut “Bagaimana Pelaksanaan kegiatan Pondok Sayang Ibu (PSI) di Desa Badak Wilayah Kerja Puskesmas Putih Doh Kecamatan Cukuh Balak Kabupaten Tanggamus ?”

C. Ruang Lingkup Penelitian
Di dalam penulisan ini yang menjadi ruang lingkup dari penelitian tinjauan pengelolaan Pondok Sayang Ibu (PSI) adalah sebagai berikut :
1. Subjek penelitian : Pondok Sayang Ibu
2. Objek penelitian : Pelaksanaan kegiatan Pondok Sayang Ibu
3. Variabel penelitian : Pondok Sayang Ibu
4. Populasi : PSI di Desa Badak Wilayah kerja Puskesmas Putih Doh Kecamatan Cukuh Balak Kabupaten Tanggamus
5. Lokasi Penelitian : Pondok Sayang Ibu (PSI) di Desa Badak Wilayah kerja Puskesmas Putih Doh Kecamatan Cukuh Balak Kabupaten Tanggamus
6. Waktu penelitian : Dilakukan pada bulan Desember 2003 – Maret 2004

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pelaksanaan kegiatan Pondok Sayang Ibu (PSI) di Desa Badak Wilayah kerja Puskesmas Putih Doh Kecamatan Cukuh Balak Kabupaten Tanggamus.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui :
a. Kegiatan yang dilakukan PSI di Desa Badak
b. Tenaga pelaksana PSI di Desa Badak
c. Peralatan yang ada di PSI di Desa Badak
d. Pendanaan PSI di Desa Badak
e. Pencatatan dan pelaporan yang dilakukan di PSI di Desa Badak

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi pengelola PSI
Sebagai upaya untuk meningkatkan pelayanan di PSI bagi masyarakat di Desa Badak
2. Manfaat bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan sebagai upaya dalam pembinaan dan pengelolaan PSI.
3. Manfaat bagi Penulis
Menambah pengetahuan penulis tentang penelitian PSI

READ MORE - Tinjauan pelaksanaan kegiatan pondok sayang ibu (PSI) di desa

Read more...

Penatalaksanaan pencegahan infeksi nifas di ruang kebidanan RSU

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan barometer pelayanan kesehatan ibu di suatu negara. Bila AKI masih tinggi berarti pelayanan kesehatan ibu belum baik. Sebaliknya bila AKI rendah berarti pelayanan kesehatan ibu sudah baik. Dengan besar kematian sekitar 585.000 setiap tahunnya maka berarti kematian ibu terjadi hampir setiap menit di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, sekitar 99% kematian maternal dan perinatal terjadi di negara sedang berkembang termasuk Indonesia (Manuaba, 2002: 18).
Saat ini angka kematian maternal dan neonatal di Indonesia adalah 334/100.000 kelahiran hidup dan 21,8/1000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, maka AKI di Indonesia adalah 15 kali AKI di Malaysia, 10 kali lebih tinggi daripada Thailand, atau 5 kali lebih tinggi daripada Filipina. Salah satu faktor penting dalam upaya penurunan angka kematian tersebut yaitu penyediaan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang berkualitas dekat dengan masyarakat (Saifuddin, 2002 : 4).
Asuhan masa nifas diperlukan karena periode ini merupakan masa kritis baik bagi ibu maupun bayi. Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan, dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama. Pelayanan kesehatan primer diperkirakan dapat menurunkan AKI sampai 20%, namun dengan sistem rujukan yang efektif AKI dapat ditekan sampai 80%. Menurut United Nations Children Emergency Fund (UNICEF), 80% kematian ibu dan perinatal terjadi di rumah sakit rujukan (Saifuddin, 2001 : 3).
Suatu tindakan obstetrik seperti seksio sesarea atau pengeluaran plasenta secara manual, dapat meningkatkan resiko seorang ibu terkena infeksi. Resiko tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1. Distribusi Infeksi Bakterial Pada Pasien Obstetrik.
No. JENIS INFEKSI INSIDENS
1. Chorioamnionitis 0,5 – 1%
2. Postpartum Endometritis :
- Seksio Sesarea
- Persalinan Pervaginam 0,5 – 85%
< 10% 3. Infeksi Saluran Kemih 1 – 4% 4. Pyelonephritis 1 – 4% 5. Sepsis Post Aborsi 1 – 2% 6. Nekrosis Post Operatif < 1% 7. Toxic Shock Syndrome < 1% Sumber data : Critical Care Obstetric, 2001. Dari tabel 1 tersebut, dapat diketahui bahwa resiko terjadinya infeksi nifas pada persalinan pervaginam relatif kecil (kurang dari 10%). World Health Organization (WHO) melalui upaya Safe Motherhood menganjurkan agar setiap kehamilan, persalinan, dan nifas dianggap beresiko. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa lebih dari 90 % komplikasi obstetri tidak dapat diramalkan sebelumnya (Saifuddin, 2001 : 6). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh penulis di RSU A. Yani Metro tanggal 17 Oktober 2003 diperoleh data sebagai berikut : Tabel 2. Distribusi Ibu Nifas di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro Periode Januari – September 2003. No. JENIS JUMLAH PERSEN 1. Nifas normal 205 37,9 2. Nifas dengan penyulit 336 62,1 a. Nifas Post Seksio Sesarea 58 10,7 b. Nifas Post Ketuban Pecah Dini 44 8,1 c. Nifas Post Ante Partum Hemorhagi 42 7,8 d. Nifas Post Pre Eklamsi 40 7,4 e. Nifas Post Partum Hemorhagi 40 7,4 f. Nifas Post Ekstraksi Vakum 34 6,3 g. Nifas Post Letak Sungsang/Letak Lintang 33 6,1 h. Nifas Post Date 20 3,7 i. Nifas dengan Retensio Plasenta 13 2,4 j. Nifas Post Eklamsi 12 2,2 JUMLAH 541 100 Sumber data : Laporan Bulanan Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro Januari - September 2003. Berdasarkan data pada tabel 2 tersebut, dapat diketahui bahwa jumlah ibu nifas dengan penyulit di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro periode Januari – September 2003 cukup tinggi, yaitu 336 orang (62,1 %) dimana keadaan ini memberikan dampak yang signifikan terhadap resiko terjadinya infeksi nifas. Adapun data kematian ibu di Ruang Kebidanan RS Islam Asy-Syifaa Yukum Jaya selama tahun 2007 adalah sebagai berikut : Tabel 3. Distribusi Kematian Ibu di Ruang Kebidanan RS Islam Asy-Syifaa Yukum Jaya Periode Januari – Juni 2007. No JENIS JUMLAH PERSEN 1 Kehamilan : a. Dekompensasi cordis. b. Mola Hidatidosa 1 1 14,3 14,3 2 Persalinan : Eklampsia 1 14,3 3 Nifas : a. Sepsis b. Dekompensasi cordis c. Eklamsi post partum 2 1 1 28,5 14,3 14,3 JUMLAH 7 100 Sumber data : Laporan Bulanan Ruang Kebidanan RS Islam Asy-Syifaa Yukum Jaya Januari – Juni 2007. Berdasarkan data yang diperoleh dari studi pendahuluan pada tabel 3 tersebut, dapat diketahui bahwa selama bulan Januari – Juni tahun 2007 di Ruang Kebidanan RS Islam Asy-Syifaa Yukum Jaya terdapat kematian ibu nifas karena sepsis sejumlah 2 orang (28,5 %). Selain itu, pencegahan infeksi yang dilakukan di Ruang Kebidanan RS Islam Asy-Syifaa Yukum Jaya yang meliputi : prosedur cuci tangan, pemakaian sarung tangan, pengelolaan cairan antiseptik, pemrosesan alat bekas pakai, dan pengelolaan sampah medik belum sepenuhnya dilakukan sesuai dengan Pedoman Pencegahan Infeksi. Dengan adanya berbagai fakta yang diperoleh dari studi pendahuluan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Penatalaksanaan Pencegahan Infeksi Nifas di Ruang Kebidanan RS Islam Asy-Syifaa Yukum Jaya”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada Latar Belakang Masalah, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut : bagaimanakah penatalaksanaan pencegahan infeksi nifas di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro ? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui penatalaksanaan pencegahan infeksi nifas di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro. 2. Tujuan Khusus a. Diperolehnya gambaran tentang prosedur cuci tangan oleh petugas. b. Diperolehnya gambaran tentang pemakaian sarung tangan oleh petugas. c. Diperolehnya gambaran tentang pengelolaan cairan antiseptik oleh petugas. d. Diperolehnya gambaran tentang pemrosesan alat bekas pakai oleh petugas. e. Diperolehnya gambaran tentang pengelolaan sampah medik oleh petugas.   D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat : 1. Untuk Rumah Sakit a. Sebagai masukan tentang penatalaksanaan pencegahan infeksi nifas di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro. b. Untuk menerapkan prosedur pencegahan infeksi nifas di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro. 2. Untuk Institusi Pendidikan Sebagai bahan kajian terhadap teori yang telah diperoleh mahasiswi selama mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di Politeknik Kesehatan Tanjung Karang Program Studi Kebidanan Metro sekaligus sebagai bahan atau sumber bacaan di perpustakaan institusi pendidikan. 3. Untuk Penulis Menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang pencegahan infeksi, khususnya infeksi nifas dan merupakan persyaratan untuk menyelesaikan Program Pendidikan pada Diploma III Kebidanan di Politeknik Kesehatan Tanjung Karang Program Studi Kebidanan Metro. E. Ruang Lingkup Adapun yang menjadi ruang lingkup dari penelitian tentang penatalaksanaan pencegahan infeksi nifas di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro adalah : 1. Subyek Penelitian : Petugas paramedis di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro. 2. Obyek Penelitian : Penatalaksanaan pencegahan infeksi nifas di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro. 3. Lokasi Penelitian : Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro. 4. Waktu Penelitian : 17 Mei – 16 Juni 2004

READ MORE - Penatalaksanaan pencegahan infeksi nifas di ruang kebidanan RSU

Read more...

Penatalaksanaan pencegahan infeksi nifas di ruang kebidanan RSU

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan barometer pelayanan kesehatan ibu di suatu negara. Bila AKI masih tinggi berarti pelayanan kesehatan ibu belum baik. Sebaliknya bila AKI rendah berarti pelayanan kesehatan ibu sudah baik. Dengan besar kematian sekitar 585.000 setiap tahunnya maka berarti kematian ibu terjadi hampir setiap menit di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, sekitar 99% kematian maternal dan perinatal terjadi di negara sedang berkembang termasuk Indonesia (Manuaba, 2002: 18).
Saat ini angka kematian maternal dan neonatal di Indonesia adalah 334/100.000 kelahiran hidup dan 21,8/1000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, maka AKI di Indonesia adalah 15 kali AKI di Malaysia, 10 kali lebih tinggi daripada Thailand, atau 5 kali lebih tinggi daripada Filipina. Salah satu faktor penting dalam upaya penurunan angka kematian tersebut yaitu penyediaan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang berkualitas dekat dengan masyarakat (Saifuddin, 2002 : 4).
Asuhan masa nifas diperlukan karena periode ini merupakan masa kritis baik bagi ibu maupun bayi. Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan, dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama. Pelayanan kesehatan primer diperkirakan dapat menurunkan AKI sampai 20%, namun dengan sistem rujukan yang efektif AKI dapat ditekan sampai 80%. Menurut United Nations Children Emergency Fund (UNICEF), 80% kematian ibu dan perinatal terjadi di rumah sakit rujukan (Saifuddin, 2001 : 3).
Suatu tindakan obstetrik seperti seksio sesarea atau pengeluaran plasenta secara manual, dapat meningkatkan resiko seorang ibu terkena infeksi. Resiko tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1. Distribusi Infeksi Bakterial Pada Pasien Obstetrik.
No. JENIS INFEKSI INSIDENS
1. Chorioamnionitis 0,5 – 1%
2. Postpartum Endometritis :
- Seksio Sesarea
- Persalinan Pervaginam 0,5 – 85%
< 10% 3. Infeksi Saluran Kemih 1 – 4% 4. Pyelonephritis 1 – 4% 5. Sepsis Post Aborsi 1 – 2% 6. Nekrosis Post Operatif < 1% 7. Toxic Shock Syndrome < 1% Sumber data : Critical Care Obstetric, 2001. Dari tabel 1 tersebut, dapat diketahui bahwa resiko terjadinya infeksi nifas pada persalinan pervaginam relatif kecil (kurang dari 10%). World Health Organization (WHO) melalui upaya Safe Motherhood menganjurkan agar setiap kehamilan, persalinan, dan nifas dianggap beresiko. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa lebih dari 90 % komplikasi obstetri tidak dapat diramalkan sebelumnya (Saifuddin, 2001 : 6). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh penulis di RSU A. Yani Metro tanggal 17 Oktober 2003 diperoleh data sebagai berikut : Tabel 2. Distribusi Ibu Nifas di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro Periode Januari – September 2003. No. JENIS JUMLAH PERSEN 1. Nifas normal 205 37,9 2. Nifas dengan penyulit 336 62,1 a. Nifas Post Seksio Sesarea 58 10,7 b. Nifas Post Ketuban Pecah Dini 44 8,1 c. Nifas Post Ante Partum Hemorhagi 42 7,8 d. Nifas Post Pre Eklamsi 40 7,4 e. Nifas Post Partum Hemorhagi 40 7,4 f. Nifas Post Ekstraksi Vakum 34 6,3 g. Nifas Post Letak Sungsang/Letak Lintang 33 6,1 h. Nifas Post Date 20 3,7 i. Nifas dengan Retensio Plasenta 13 2,4 j. Nifas Post Eklamsi 12 2,2 JUMLAH 541 100 Sumber data : Laporan Bulanan Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro Januari - September 2003. Berdasarkan data pada tabel 2 tersebut, dapat diketahui bahwa jumlah ibu nifas dengan penyulit di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro periode Januari – September 2003 cukup tinggi, yaitu 336 orang (62,1 %) dimana keadaan ini memberikan dampak yang signifikan terhadap resiko terjadinya infeksi nifas. Adapun data kematian ibu di Ruang Kebidanan RS Islam Asy-Syifaa Yukum Jaya selama tahun 2007 adalah sebagai berikut : Tabel 3. Distribusi Kematian Ibu di Ruang Kebidanan RS Islam Asy-Syifaa Yukum Jaya Periode Januari – Juni 2007. No JENIS JUMLAH PERSEN 1 Kehamilan : a. Dekompensasi cordis. b. Mola Hidatidosa 1 1 14,3 14,3 2 Persalinan : Eklampsia 1 14,3 3 Nifas : a. Sepsis b. Dekompensasi cordis c. Eklamsi post partum 2 1 1 28,5 14,3 14,3 JUMLAH 7 100 Sumber data : Laporan Bulanan Ruang Kebidanan RS Islam Asy-Syifaa Yukum Jaya Januari – Juni 2007. Berdasarkan data yang diperoleh dari studi pendahuluan pada tabel 3 tersebut, dapat diketahui bahwa selama bulan Januari – Juni tahun 2007 di Ruang Kebidanan RS Islam Asy-Syifaa Yukum Jaya terdapat kematian ibu nifas karena sepsis sejumlah 2 orang (28,5 %). Selain itu, pencegahan infeksi yang dilakukan di Ruang Kebidanan RS Islam Asy-Syifaa Yukum Jaya yang meliputi : prosedur cuci tangan, pemakaian sarung tangan, pengelolaan cairan antiseptik, pemrosesan alat bekas pakai, dan pengelolaan sampah medik belum sepenuhnya dilakukan sesuai dengan Pedoman Pencegahan Infeksi. Dengan adanya berbagai fakta yang diperoleh dari studi pendahuluan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Penatalaksanaan Pencegahan Infeksi Nifas di Ruang Kebidanan RS Islam Asy-Syifaa Yukum Jaya”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada Latar Belakang Masalah, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut : bagaimanakah penatalaksanaan pencegahan infeksi nifas di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro ? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui penatalaksanaan pencegahan infeksi nifas di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro. 2. Tujuan Khusus a. Diperolehnya gambaran tentang prosedur cuci tangan oleh petugas. b. Diperolehnya gambaran tentang pemakaian sarung tangan oleh petugas. c. Diperolehnya gambaran tentang pengelolaan cairan antiseptik oleh petugas. d. Diperolehnya gambaran tentang pemrosesan alat bekas pakai oleh petugas. e. Diperolehnya gambaran tentang pengelolaan sampah medik oleh petugas.   D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat : 1. Untuk Rumah Sakit a. Sebagai masukan tentang penatalaksanaan pencegahan infeksi nifas di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro. b. Untuk menerapkan prosedur pencegahan infeksi nifas di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro. 2. Untuk Institusi Pendidikan Sebagai bahan kajian terhadap teori yang telah diperoleh mahasiswi selama mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di Politeknik Kesehatan Tanjung Karang Program Studi Kebidanan Metro sekaligus sebagai bahan atau sumber bacaan di perpustakaan institusi pendidikan. 3. Untuk Penulis Menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang pencegahan infeksi, khususnya infeksi nifas dan merupakan persyaratan untuk menyelesaikan Program Pendidikan pada Diploma III Kebidanan di Politeknik Kesehatan Tanjung Karang Program Studi Kebidanan Metro. E. Ruang Lingkup Adapun yang menjadi ruang lingkup dari penelitian tentang penatalaksanaan pencegahan infeksi nifas di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro adalah : 1. Subyek Penelitian : Petugas paramedis di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro. 2. Obyek Penelitian : Penatalaksanaan pencegahan infeksi nifas di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro. 3. Lokasi Penelitian : Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro. 4. Waktu Penelitian : 17 Mei – 16 Juni 2004

READ MORE - Penatalaksanaan pencegahan infeksi nifas di ruang kebidanan RSU

Read more...

Karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kelahiran bayi kiranya merupakan momen yang paling menggembirakan bagi orang tua. Mereka ingin bayi mereka sehat dan memiliki lingkungan emosi dan fisik yang terbaik. Setelah lahir, nutrisi memainkan peran terpenting bagi pertumbuhan dan perkembangan yang sehat dari bayi itu (Ramaiah, 2006)
Pada masa lima tahun kehidupan anak, pertumbuhan mental dan intelektual berkembang sangat cepat, yang disebut Golden Period. Pada masa itu terbentuk dasar-dasar kemampuan keinderaan, berpikir dan berbicara serta pertumbuhan mental intelektual yang intensif dan awal pertumbuhan moral. Gerbang pertama untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas adalah ASI (Air Susu Ibu) eksklusif. Banyak penelitian sudah membuktikan, ASI membuat bayi jauh lebih sehat, kekebalan yang tinggi, kecerdasan emosional dan spiritual lebih baik. IQ pun bisa lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang ketika bayi tidak diberi ASI Eksklusif dan ASI juga mempunyai dampak ekonomis yang sangat tinggi, serta ASI tidak bisa digantikan dengan zat makanan manapun (Markum, www. Cyberwoman 2006).
Pemberian ASI yang dianjurkan ditingkat internasional dan nasional adalah pemberian ASI segera setengah jam setelah bayi lahir, kemudian pemberian ASI saja sampai bayi berusia 6 bulan, selanjutnya pemberian ASI diteruskan sampai 2 tahun dengan pemberian makanan pendamping ASI. Pemberian ASI eksklusif merupakan salah satu kontribusi terpenting bagi kesehatan, pertumbuhan, dan perkembangan bayi baru lahir, bayi dan anak-anak. Manfaatnya akan semakin besar apabila pemberian ASI dimulai pada 1 jam pertama setelah kelahiran, dimana bayi membutuhkan makanan dan tanpa pemberian susu tambahan. Selain kekayaan gizi yang jelas dimiliki ASI, pemberian ASI juga melindungi bayi dari kematian dan kesakitan. Bayi yang diberi ASI eksklusif kemungkinan menderita diare dan infeksi pernafasan hanya seperempat dari seluruh kejadian yang diderita bayi yang tidak diberi ASI (Widyastuti, 2004).
Pada masa bayi, orang tua lebih merupakan perawat, pada masa balita sebagai pelindung, diusia prasekolah sebagai pengasuh, pada waktu usia sekolah dasar sebagai pendorong. Perubahan peran itu perlu terjadi agar pola pengasuhannya menjadi tepat meski ASI eksklusif memiliki banyak keunggulan, jumlah ibu yang menyusui anaknya makin menurun. Data terakhir menunjukkan adanya penurunan prevalensi ASI eksklusif dari 65,1% (Susenas 1989) menjadi 49,2% (Susenas 2001). Proporsi bayi mendapatkan ASI Eksklusif di pedesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan dan kawasan timur Indonesia lebih tinggi daripada di kawasan Jawa, Bali, dan Sumatera. Sedangkan ibu menyusui bayinya sampai usia 12-15 bulan sekitar 86% dan sekitar 66% menyusui sampai bayi berumur 22-23 bulan. Mengingat dewasa ini para ibu di negara-negara maju seperti di Eropa, Amerika dan Australia telah menjadikan pemberian ASI secara eksklusif sebagai perilaku pola asuh bayi. Meski mereka bekerja, tapi hal ini tidak menghambat keberhasilan pemberian ASI secara eksklusif (Swasono, www.menegpp 2006).
Berbeda dengan para ibu di negara berkembang seperti Indonesia, yang cenderung memilih memberikan susu formula kepada bayinya. Bahkan pada sebagian ibu, perilaku ini berkembang menjadi semacam gengsi. Celakanya, perilaku yang salah ini lalu ditiru oleh para ibu dari keluarga kurang mampu, sehingga terjadi pemberian susu formula yang sangat encer dan tidak memenuhi kebutuhan gizi bayi (Roesli, www.gizi.net 2006).
Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun1997 sampai 2002 lebih dari 95% ibu pernah menyusui bayinya. Namun yang menyusui dalam 1 jam pertama setelah melahirkan cenderung menurun dari 8% pada tahun 1997 jadi 3,7% pada tahun 2002. cakupan ASI Eksklusif 6 bulan menurun dari 42,4% pada tahun 1997 menjadi 39,5% pada tahun 2002. Penggunaan susu formula meningkat lebih dari 3 x lipat selama 5 tahun dari 10,8% pada tahun 1997 menjadi 32,5% pada tahun 2002 (www.depkes.go.id, 2006).
Dari sebuah survei yang dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumsi Indonesia (YLKI) pada tahun 1995 terhadap ibu-ibu se Jabotabek, diperoleh data bahwa alasan pertama berhenti memberikan ASI pada anaknya adalah “takut di tinggal suami”. Ini semua karena mitos yang salah yaitu menyusui akan mengubah bentuk payudara menjadi lembek (Roesli, 2000).
Sedangkan pada saat ini tampak ada kecenderungan menurunnya penggunaan ASI pada sebagian masyarakat di kota-kota besar. Di kota besar sering kita melihat bayi diberi susu botol daripada disusui ibunya, sementara di pedesaan kita melihat bayi yang berusia 1 bulan sudah diberi pisang atau nasi lembut sebagai tambahan ASI. Pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-6 bulan untuk Propinsi Lampung adalah 57.207 bayi atau hanya sekitar 34,53% dari jumlah bayi 165.656 bayi. Sedangkan pemberian ASI ekslusif pada bayi 0-6 bulan untuk Kota Metro adalah 900 bayi atau sekitar 58,82% dari jumlah bayi 1530 bayi. (Profil Kesehatan Propinsi Lampung, 2004).
Data prasurvei yang didapat oleh penulis di Dinas Kesehatan Kota Metro mengenai cakupan pemberian ASI rkslusif tahun 2005 adalah sebagai berikut :
Tabel 1
Data Cakupan ASI Eksklusif Kota Metro 2005

No Puskesmas Sasaran Cakupan %
1
2
3
4
5
6 Yosomulyo
Metro
Iringmulyo
Banjarsari
Sumbersari
Ganjar Agung 282
241
334
241
139
227 238
27
158
183
27
177 84,39
11,2
47,3
75,93
19,93
77,97
JUMLAH 1464 810 55,32
Sumber : Laporan Cakupan ASI Eksklusif Dinas Kesehatan Kota Metro tahun 2005
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa cakupan pemberian ASI ekslusif Kota Metro tahun 2005 hanya mencapai 55,32%, sedangkan target untuk cakupan pemberian ASI eksklusif Kota Metro untuk tahun 2005 adalah 60%. Cakupan pemberian ASI Eksklusif yang terendah ialah Puskesmas Kota Metro, hanya tercapai 11,2% atau 27 ibu dari 241 ibu yang menyusui dan cakupan pemberian eksklusif yang paling tinggi dicapai oleh Puskesmas Yosomulyo yaitu sebesar 84,39% atau 238 ibu dari 282 ibu yang menyusui.
Semua ibu seharusnya dapat menyusui anaknya dan memenuhi kebutuhan nutrisi anaknya dimana ASI dapat menjadi makanan tunggal bagi bayi sampai berusia 6 bulan. Dalam upaya pemberian ASI eksklusif agar berhasil dimulai dan dimantapkan, ibu butuh dukungan aktif baik dari keluarga maupun orang-orang yang penting bagi ibu misalnya suami (Roesli, 2000).
Keberhasilan memberikan ASI Eksklusif selain bergantung pada ibu juga sangat bergantung pada suami karena peran suami sama besarnya dengan peran ibu terutama dalam segi psikologis, sehingga jika seorang ibu berhasil memberi ASI eksklusif selama 4 atau bahkan 6 bulan, hal ini merupakan keberhasilan ibu dan suami (Roesli, 1999).
Dari pengalaman selama lebih dari 15 tahun menggeluti masalah ASI dapat dipastikan bahwa suami yang berperan sebagai ayah merupakan bagian vital dalam keberhasilan ataupun kegagalan menyusui. Masih banyak para suami yang berpendapat salah. Para suami ini berpendapat bahwa menyusui adalah urusan ibu dan bayinya. Mereka menganggap cukup menjadi pengamat yang pasif saja, sebenarnya suami mempunyai peran yang sangat penting dalam keberhasilan menyusui, terutama untuk menjaga agar refleks oksitosin lancar (Roesli, 2000).
Di hari pertama setelah melahirkan, ibu pastilah mengalami kelelahan fisik dan mental. Akibatnya, ibu merasa cemas, tidak tenang, hilang semangat, dan sebagainya. Ini merupakan hal normal yang perlu diantisipasi suami maupun pihak keluarga. Namun dalam beberapa kasus, terutama pada anak pertama, banyak suami yang lebih sibuk dengan bayinya dari pada memperhatikan kebutuhan sang istri. Jika kondisi ini terus-menerus berlanjut maka ibu akan merasa bahwa perhatian suami padanya telah menipis sehingga muncul asumsi-asumsi negatif. Terutama yang terkait erat dengan penampilan fisiknya setelah bersalin. Tubuh yang dianggap tak lagi seindah dulu membuat suami lebih mencintai anak dari pada dirinya sebagai istri. Perasaan negatif ini akan membuat refleks oksitosin menurun dan produksi ASI pun terhambat. Karena pikiran negatif ibu memengaruhi produksi ASI, maka dukungan suami sangat dibutuhkan. Pentingnya suami dalam mendukung ibu selama memberikan ASI-nya memunculkan istilah breastfeeding father atau suami menyusui. Jika ibu merasa didukung, dicintai, dan diperhatikan, maka akan muncul emosi positif yang akan meningkatkan produksi hormon oksitosin sehingga produksi ASI menjadi lancar ( Roesli, www.bkkbn.com., 2006).
Dikatakan bahwa keberhasilan memberikan ASI eksklusif selain bergantung pada ibu juga sangat bergantung pada suami maka tidak terlepas kemungkinan keterkaitan antara karakteristik suami pada ibu menyusui dengan dukungan dalam pemberian ASI eksklusif dimana dukungan tersebut dipengaruhi oleh tingkat usia suami, tingkat pendidikan suami, jenis pekerjaan suami, tingkat penghasilan suami, tingkat pengetahuan suami tentang pemberian ASI Eksklusif dan sikap suami terhadap pemberian ASI eksklusif. Berdasarkan uraian tersebut maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang karakteristik suami pada ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Metro Kecamatan Metro Pusat Kota Metro tahun 2006.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian yang terdapat pada latar belakang, maka dapat dibuat rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Metro Kecamatan Metro Pusat Kota Metro tahun 2006 ?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Metro Kecamatan Metro Pusat Kota Metro tahun 2006.
2. Tujuan Khusus
a. Diperolehnya gambaran karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif berdasarkan tingkat usia.
b. Diperolehnya gambaran karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif berdasarkan tingkat pendidikan.
c. Diperolehnya gambaran karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif berdasarkan jenis pekerjaan.
d. Diperolehnya gambaran karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif berdasarkan tingkat penghasilan.
e. Diperolehnya gambaran karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif berdasarkan tingkat pengetahuan.
f. Diperolehnya gambaran karekteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif berdasarkan sikap.

D. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup yang diteliti adalah sebagai berikut :
1. Sifat Penelitian : Studi Deskriptif
2. Objek Penelitian : Karakteristik suami dilihat dari tingkat usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat penghasilan, tingkat pengetahuan dan sikap.
3. Subjek penelitian : Suami dengan ibu menyusui yang memiliki bayi usia diatas 6 bulan sampai 2 tahun dan telah memberikan ASI eksklusif pada bayinya
4. Lokasi penelitian : Di Wilayah Kerja Puskesmas Metro
5. Waktu Penelitian : Tanggal 8 Mei – 20 Mei 2006

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskesmas Kota Metro
Menambah wawasan serta menjadi tolak ukur para tenaga kesehatan di Puskesmas Kota Metro dalam melaksanakan program selanjutnya, terutama lebih aktif dalam memberikan penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat khususnya ibu-ibu menyusui tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif.
2. Bagi Masyarakat Kecamatan Metro Pusat
Sebagai masukan bagi masyarakat khususnya ibu-ibu menyusui agar lebih meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif bagi bayinya serta menambah wawasan pengetahuan dan pandangan positif sehingga dapat meyakinkan keluarga khususnya ibu-ibu menyusui agar memberikan ASI secara eksklusif.
3. Bagi Penelitian Selanjutnya
Untuk memberikan masukan bagi kegiatan penelitian berikutnya terutama penelitian yang berkaitan dengan ASI eksklusif.

READ MORE - Karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja puskesmas

Read more...

Gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis di desa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Salah satu tolak ukur kemajuan suatu bangsa adalah tingginya angka harapan hidup penduduknya. Demikian juga Indonesia sebagai suatu negara berkembang, dengan perkembangannya yang cukup baik, makin tinggi usia harapan hidup pada waktu lahir orang Indonesia akan mencapai 70 tahun atau lebih pada tahun 2015-2020 (FKUI, 1999 : iv). Usia harapan hidup untuk pria 76 tahun dan wanita 82 tahun (WHO, 1995:15). Di Lampung usia harapan hidup penduduknya pada tahun 2004 mencapai 67,6 tahun, sedangkan Lampung Timur adalah 69,3 tahun (Dinkes Propinsi, 2004).
Meningkatnya usia harapan hidup bagi masyarakat mempunyai beberapa konsekuensi yaitu antara lain akan timbulnya berbagai masalah kesehatan. Khususnya bagi wanita didalam daur hidupnya akan mengalami berbagai masalah kesehatan terutama pada masa menopause dan pasca menopause (Baziad, 2000:35). Salah satu masalah kesehatan yang bisa terjadi pada masa menopause adalah osteoporosis.
Osteoporosis merupakan penyakit tulang yang paling banyak menyerang wanita yang telah menopause (Irawati, 2002:47).Akibat yang biasa terjadi dari osteoporosis adalah ketika tulang punggung menjadi lemah, maka akan mudah jatuh dan retak, apalagi jika disertai dengan patah tulang (fraktur).
Waktu menopause produksi estrogen dalam tubuh wanita mengalami penurunan yang drastis. Diantara banyak fungsinya estrogen memainkan peranan utama dalam melestarikan kekuatan tulang melalui kalsifikasi atau pemberian kalsium yang terus menerus. Dengan turunnya kadar estrogen, hormon yang berperan dalam proses ini yaitu vitamin D dan PTH (Parathyroid Hormone) menurun sehingga proses pematangan sel tulang (osteoblast) terhambat. Apabila ini berlanjut terus, maka penyerapan tulang dalam tubuh akan lebih cepat daripada pembentukan dalam tulang sehingga tulang menjadi lebih lunak, lebih lemah dan lebih mudah patah (Rachman, 2000:13).
Osteoporosis dapat terjadi akibat gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, mengkonsumsi alkohol dan kurangnya aktifitas yang dilakukan sehari-hari mulai anak-anak sampai dewasa, serta minimnya pengetahuan masyarakat mengenai cara pencegahan osteoporosis terbukti dengan rendahnya konsumsi kalsium rata-rata di Indonesia yang hanya 254 mg perhari dari 1000-1200 mg perhari menurut standar internasional. Hal ini ditambah kenyataan bahwa gejala osteoporosis sering kali tidak menimbulkan gejala (silent desease), namun seringkali menunjukkan gejala klasik berupa nyeri punggung akibat fraktur kompresi dari satu atau lebih vertebrata (www.@promokes.go.id, 2006).
Berdasarkan data terbaru dari IOF (International Osteoporosis Foundation) menyebutkan sampai tahun 2000 ini diperkirakan 200 juta wanita mengalami osteoporosis (Hartono, 2000:2). Wanita 2-3 kali lebih banyak menderita osteoporosis dibandingkan laki-laki dengan prevalensi lebih kurang 35% wanita pasca menopause menderita osteoporosis dan 50% ostopenia (Baziad, 2003:75). Berdasarkan analisa data Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada 14 propinsi menunjukkan masalah osteoporosis di Indonesia telah mencapai tingkat yang perlu diwaspadai yaitu 19,7 %. (www.Depkes.go.id, 2005).
Menurut laporan SP2TP tahun 2004 di Propinsi Lampung osteoporosis yang merupakan salah satu penyakit tulang dan jaringan pengikat menempati urutan ke-5 dari 10 (sepuluh) besar penyakit pada tahun 2004 dengan jumlah kasus 126.304 (9,32%) (Dinkes Propinsi, 2004). Dari beberapa Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung, kasus penyakit osteoporosis lama dan baru yang ada di daerah Lampung Timur pada triwulan IV tahun 2005 menempati urutan ke-3 dari jumlah penyakit terbanyak yang ada di Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Timur sebanyak 4059 kasus (8,25%) (LB1 Dinkes Lampung Timur). Untuk wilayah Puskesmas Purbolinggo, penyakit tulang menempati urutan ke-2 sebanyak 143 kasus (8,1%) dari penyakit terbanyak pada bulan Januari 2006. Sedangkan pada bulan Februari 2006 menempati urutan ke-3 sebanyak 109 kasus (7,1%) (Seksi Puskesmas Lampung Timur).
Berdasarkan studi pendahuluan di Desa Taman Bogo Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur terdapat jumlah wanita berdasarkan golongan umur 46-50 tahun yaitu 151 orang (7,6%) (data desa Taman Bogo tahun 2005). Dari hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap 10 orang wanita pramenopause, ternyata ada 6 orang (60%) tidak tahu tentang osteoporosis yang mungkin akan terjadi pada masa menopause. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian mengenai pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis yang terjadi pada masa menopause di Desa Taman Bogo Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut : “Bagaimanakah gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis di Desa Taman Bogo Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur tahun 2006?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis.
2. Tujuan Khusus
a) Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis pada domain kognitif tingkat tahu.
b) Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis pada domain kognitif tingkat paham.
c) Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis pada domain kognitif tingkat aplikasi.

D. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup yang diteliti adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian : Studi Deskriptif
2. Obyek Penelitian : Tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis.
3. Subyek penelitian : Wanita yang berusia 46-50 tahun di Desa Taman Bogo Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur.
4. Lokasi penelitian : Desa Taman Bogo Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur.
5. Waktu Penelitian : Bulan April – Mei 2006.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Petugas Pelaksana Pelayanan Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan penyuluhan kepada wanita pramenopause tentang osteoporosis pada masa menopause.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan bacaan dan informasi untuk penelitian berikutnya.

READ MORE - Gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis di desa

Read more...

Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya akseptor IUD di desa

>> Sunday, May 30, 2010

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak Pelita V program Keluarga Berencana (KB) adalah gerakan masyarakat yang menghimpun dan mengajak segenap potensi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melembagakan dan membudidayakan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) dalam rangka meningkatkan mutu dan sumber daya manusia Indonesia. Hasil sensus penduduk tahun 1990 menunjukkan bahwa gerakan KB Nasional telah berhasil merampungkan landasan pembentukan keluarga kecil dalam rangka pelembagaan dan pembudidayaan NKKB (Wiknjosastro, 2002).
Program Keluarga Berencana nasional bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak serta mewujudkan keluarga kecil yang sejahtera bahagia melalui pengendalian kelahiran dan pertumbuhan penduduk, melalui usaha untuk penurunan tingkat kelahiran penduduk dengan peningkatan jumlah dan kelestarian akseptor dan usaha untuk membantu peningkatan kesejahteraan ibu dan anak, perpanjangan harapan hidup, menurunnya tingkat kematian bayi dan balita, serta menurunnya tingkat kematian ibu karena kehamilan dan persalinan (Hartanto, 2002).

Keluarga sebagai unit terkecil dalam kehidupan berbangsa diharapkan menerima Norma Keluarga kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) yang berorientasi pada “Catur Warga” atau Zero Population Grow (pertumbuhan seimbang) yang menghasilkan keluarga berkualitas (Manuaba, 1998). Sasaran utama program Keluarga Berencana (KB) adalah Pasangan Usia Subur (PUS).
Dalam hal ini gerakan Keluarga Berencana tidak hanya meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak, namun yang lebih penting lagi adalah kontribusi KB dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan keluarga yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas bangsa ( Mochtar, 1998).
Berbagai usaha dibidang gerakan KB sebagai salah satu kegiatan pokok pembangunan keluarga sejahtera telah dilakukan baik oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sendiri (Mochtar, 1998). Untuk ini antara lain dengan senantiasa memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada PUS untuk ikut berpartisipasi dalam meningkatkan NKKBS melalui pemakaian alat kontrasepsi.
Gerakan KB Nasional selama ini telah berhasil mendorong peningkatan peran serta masyarakat dalam membangun keluarga kecil yang makin mandiri. Keberhasilan ini mutlak harus diperhatikan bahkan terus ditingkatkan karena pencapaian tersebut ternyata belum merata. Ada daerah-daerah yang kegiatan keluarga berencananya sudah tinggi, sementara itu daerah lain masih rendah dalam menggunakan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP).
Pada umumnya masyarakat lebih memilih alat kontrasepsi yang praktis namun efektivitasnya juga tinggi, seperti metode non MKJP yang meliputi pil KB dan suntik. Sehingga metode KB MKJP seperti Intra Uterine Devices (IUD), Implant, Medis Operatif Pria (MOP) dan Medis Operatif Wanita (MOW) kurang diminati.
Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) atau IUD (Intra Uterine Devices) adalah salah satu alat kontrasepsi jangka panjang yang sangat efektif untuk menjarangkan kelahiran anak (Hartanto, 2002).
Berdasarkan data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sejak tahun 2003-2006 peserta program Keluarga Berencana (KB) Indonesia hanya meningkat 0,5% per tahun. Saat ini peserta KB hanya 62,5 % dari 45 juta PUS atau sekitar 28 juta PUS yang menjadi peserta KB aktif. http://www.pdpersi.co.id, diakses tanggal 27 Mei 2007.
Di Propinsi Lampung tahun 2005, jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) di Propinsi Lampung tercatat sebesar 1.380.636 orang dan yang menjadi peserta KB aktif sebesar 961.460 orang (67,64%). Sedangkan di Kabupaten Lampung Timur terdapat peserta KB aktif sebanyak 126,547, orang (69,73%). Di Kecamatan Raman Utara terdapat jumlah Pasangan Usia Subur sebesar 7.458 0rang dengan jumlah peserta KB aktifnya berkisar 5.368 orang (71,98). Sedangkan di Desa Rejo Binangun jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) sebesar 588 orang, dari jumlah tersebut yang menggunakan kontrasepsi IUD sebanyak 30 orang (5%).
Berdasarkan hasil pra survey tanggal 18 Februari 2007 di Desa Rejo Binangun di dapat data sebagai berikut:

Tabel 1. Jumlah Akseptor KB di Desa Rejo Binangun bulan Januari 2007.
No Alat Kontrasepsi Jumlah %
1
2
3
4
5
6
7 Pil
Suntik
Implant
MOP
MOW
IUD
Lain-lain 136
130
153
103
36
30
- 23
22
26
17
7
5
-
Jumlah 588 100%
Sumber : PLKB Kecamatan Raman Utara Lampung Timur
Dilihat dari data di atas pemakai alat kontrasepsi IUD sangat rendah. Rendahnya peminat pemakai alat kontrasepsi IUD maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya akseptor IUD di Desa Rejo Binangun.

READ MORE - Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya akseptor IUD di desa

Read more...

Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya cakuptan akseptor baru keluarga berencana alat kontrasepsi dalam rahim di puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan laju peningkatan penduduk di dunia dewasa ini tidak menggembirakan, demikian juga dalam masa yang akan datang tanpa adanya usaha-usaha pembangunan di segala bidang yang telah di laksanakan dengan maksimal tidaklah berfaedah. Program Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu usaha penanggulangan pertumbuhan penduduk. (Mochtar, 1998).
Indonesia menghadapi masalah dengan jumlah dan kuantitas sumber daya manusia dengan kelahiran 5.000.000 pertahun. Untuk dapat mengangkat derajat kehidupan bangsa telah dilaksanakan secara bersamaan pembangunan ekonomi dan Keluarga Berencana yang merupakan sisi masing-masing mata uang. Bila gerakan Keluarga Berencana tidak dilakukan bersamaan dengan pembangunan ekonomi,di khawatirkan hasil pembangunan tidak akan berarti (Manuaba, 1998).
Gerakan KB Nasional adalah gerakan masyarakat yang menghimpun dan mengajak segenap potensi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melembagakan dan membudayakan NKKBS dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia. Hasil sensus penduduk 1990 menunjukkan bahwa gerakan KB Nasional telah berhasil merampungkan landasan pembentukan keluarga kecil, dalam rangka pelembagaan dan pembudayaan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) (Wiknjosastro, 1999).
Tujuan gerakan KB Nasional ialah mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalui pengendalian kelahiran dan pertumbuhan penduduk Indonesia. Sasaran gerakan KB Nasional ialah :
1. Pasangan usia subur, dengan prioritas PUS muda dengan paritas rendah.
2. Generasi muda dan purna PUS
3. Pelaksana dan pengelola KB
4. wilayah dengan laju pertumbuhan penduduk tinggi dan wilayah khusus seperti sentra industri, pemukiman padat, daerah kumuh, daerah pantai dan daerah terpencil. (Prawirohardjo, 1999).
Sejak pelita pertama sampai sekarang upaya pembangunan relatif telah berhasil dalam upaya pengedalian laju pertumbuhan penduduk di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan penduduk di Indonesia dari tahun 1991 – 2000 rata-rata 1,27%, sementara laju pertumbuhan penduduk Lampung rata-rata 2% pertahun. Tingkat laju pertumbuhan penduduk tersebut menunjukkan trend menurun jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk Indonesia pada tahun 1981 – 1991 yaitu 1,97% dan di Lampung pada tahun yang sama yaitu 2,67% pertahun (Badan Pusat Statistik, 2000).
Berdasarkan hasil sementara sensus penduduk tahun 2002 jumlah penduduk Lampung bulan Desember 2002 tercatat sebesar 6.654.354 orang terdiri dari 3.411.366 orang laki-laki dan selebihnya yaitu 3.242.988 orang wanita (Badan Pusat Statistik Lampung, 2002).
Program Keluarga Berencana (KB) erat kaitannya dengan berbagai alat kontrasepsi, penggunaan alat kontrasepsi modern juga di tujukan untuk mengatur jarak kelahiran dan jumlah anak yang direncanakan. Ada beberapa alat kontrasepsi yang telah dipasarkan di masyarakat antara lain : Pil, Suntik, AKDR, Implant, Vasektomi dan Tubektomi.
Sesuai dengan hasil pra survey yang di dapat penulis, mengenai Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) di Puskesmas Kemiling Bandar Lampung yaitu akseptor baru KB dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2003 yang tertuang dalam data-data tabel di bawah ini.


READ MORE - Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya cakuptan akseptor baru keluarga berencana alat kontrasepsi dalam rahim di puskesmas

Read more...

Faktor-faktor rendahnya cakupan kunjungan ibu hamil yang ke empat (K4) di wilayah kerja puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
WHO memperkirakan bahwa sekitar 15% dari seluruh wanita yang hamil akan berkembang menjadi komplikasi yang berkaitan dengan kehamilannya serta dapat mengancam jiwaya. Dari 5.600.000 wanita hamil di Indonesia, sebagian besar akan mengalami suatu komplikasi atau masalah yang bisa menjadi fakta. Maka untuk bisa efektif dalam meningkatkan keselamatan ibu dan bayi baru lahir, asuhan antenatal harus lebih difokuskan pada intervensi yang telah terbukti bermanfaat menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir (Pusdiknakes-WHO-JHPIEGO, 2003).
Menurut data dari survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2004-2005, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia adalah 307 per 100.000 kelahiran hidup. Di Propinsi Lampung cenderung terjadi peningkatan AKI. Pada tahun 2003 AKI di Propinsi Lampung sebesar 53 per 100.000 kelahiran hidup dan meningkat menjadi 88 per 100.000 pada tahun 2004 dan 2005. AKI di Kota Metro tahun 2005 adalah 72 per 100.000 kelahiran hidup (DinKes Kota Metro, 2006).
Penyebab langsung kematian ibu adalah perdarahan, infeksi, toxemia gravidarum, partus macet (persalinan kasep), abortus dan ruptur uteri (Depkes RI, 1992). Gambaran tersebut menunjukkan bahwa penyebab-penyebab langsung kematian ibu sebagian besar dapat dideteksi dan dicegah pada masa kehamilan yaitu dengan pelaksanaan asuhan kebidanan atau biasa dikenal Ante Natal Care (ANC) (Depkes RI, 1993).
Hal ini menjadi tanggung jawab bersama serta memerlukan adanya upaya aktif dan pasif dalam meningkatkan cakupan kunjungan ibu hamil minimal 4 kali ke pelayanan kesehatan, terutama untuk ibu hamil yang sulit mengakses pelayanan kesehatan, sehingga secara dini dapat ditangani (DinKes Propinsi Lampung, 2005).
K4 adalah kontak ibu hamil dengan tenaga kesehatan yang ke-empat (atau lebih) untuk mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar yang ditetapkan, dengan syarat :
1. Minimal satu kali kontak pada triwulan I
2. Minimal satu kali kontak pada triwulan II
3. Minimal dua kali kontak pada triwulan III
(Depkes RI, 2004).
Pemeriksaan kehamilan pada trimester ketiga (>28 minggu) sangat penting. Karena pada trimester III dilakukan palpasi abdomen untuk mendeteksi adanya kehamilan ganda, kelainan letak, atau kondisi lain yang memerlukan kelahiran di rumah sakit (Pusdiknakes – WHO – JHPIEGO, 2003).
Data prasurvei yang didapat penulis di Dinas Kesehatan Kota Metro mengenai cakupan K4 tahun 2006 adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Data Cakupan K4 Kota Metro Tahun 2006


READ MORE - Faktor-faktor rendahnya cakupan kunjungan ibu hamil yang ke empat (K4) di wilayah kerja puskesmas

Read more...

Faktor-faktor rendahnya kunjungan balita di posyandu

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Derajat kesehatan merupakan pencerminan kesehatan perorangan, kelompok maupun masyarakat yang digambarkan dengan umur harapan dan status gizi, morbiditas dan status gizi masyarakat. Sehat dapat mencakup pengertian yang sangat luas, yakni bukan saja bebas dari penyakit tetapi juga tercapainya keadaan, kesejahteraan baik fisik, sosial dan mental (Profil Kesehatan Provinsi Lampung, 2005).
Dalam beberapa tahun terakhir Angka Kematian Bayi (AKB) telah banyak mengalami penurunan yang cukup besar meskipun pada tahun 2001 meningkat kembali sebagai dampak dari berbagai krisis yang melanda Indonesia pada tahun 1995 Angka Kematian Bayi (AKB) diperkirakan sebesar 55 per 1.000 kelahiran hidup, kemudian turun menjadi 52 pada tahun 1997 dan turun lagi menjadi 44 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1999, kemudian naik menjadi 47 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2000. Angka Kematian Bayi (AKB) menurut hasil surkesnas / susenas berturut-turut pada tahun 2001 sebesar 50 per 1.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2002 sebesar 45 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) menurut hasil SDKI 2002 – 2003 terjadi penurunan yang cukup besar, yaitu menjadi 35 per 1.000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Indonesia, 2005).
Berdasarkan estimasi susinas, angka kematian balita (AKABA) di Indonesia yang pada tahun 1995 sebesar 73 per 1000 kelahiran hidup, turun menjadi 64 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1998, ternyata pada tahun 2001 angka kematian balita (AKABA) tersebut tidak mengalami perubahan yaitu tetap 64 per 1.000 kelahiran hidup. Hal ini di perkenakan karena menurunya AKSES terhadap pelayanan kesehatan, salah satunya sebagai akibat dari krisis ekonomi, hasil SDKI menyatakan bahwa angka kematian balita (AKABA) pada tahun 2002-2003 telah turun menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup, menurut hasil Survey Demografi Kesehatan (SDKI) tahun 2002-2003, angka kematian ibu di Indonesia sebesar 307-per1000 kelahiran hidup (Provil Kesehatan Indonesia, 2005).
Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari oleh untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna pemberdayaan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi (Depkes RI, 2006).
Data Provinsi Lampung, pada tahun 2005, cakupan penimbangan balita yaitu balita yang ditimbang di bagi jumlah sasaran (D/S) mencapai 57,96%,untuk cakupan balita yang mengalami kenaikan berat badan dibagi jumlah sasaran (N/D) mencapai 47,96%, indikator status gizi salah satunya adalah dengan melihat persentase anak balita dengan gizi baik (Provil Kesehatan Provinsai Lampung, 2005).
Data Kabupaten Lampung Selatan, pada tahun 2006, cakupan penimbangan balita yaitu balita yang ditimbang dibagi jumlah sasaran (D/S) mencapai 42,79%, untuk cakupan balita yang mengalami kenaikan berat badan dibagi jumlah sasaran (N/D) yaitu pada balita mencapai 81,79% (Dinkes Kabupaten Lampung Selatan, 2006).
Data Puskesmas Sukadami Kecamatan Natar, pada tahun 2006, cakupan penimbangan balita yang ditimbang dibagi jumlah sasaran (D/S) mencapai 66%, untuk cakupan balita yang mengalami kenaikan berat badan dibagi jumlah sasaran (N/D) yaitu pada balita mencapai 94,% (Puskesmas Sukadamai Kecamatan Natar, 2006). Data desa Bandarejo Kecamatan Natar pada tahun 2006 cakupan penimbangan balita yang ditimbang dibagi jumlah sasaran (D/S) mencapai 57%, untuk cakupan balita yang mengalami kenaikan berat badan dibagi jumlah sasaran (N/D) yaitu pada balita mencapai 76,7,%. (Desa Bandarejo Kecamatan Natar, 2006)
Desa Bandarejo merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan Di Desa Bandarejo terdapat 6 Posyandu yang Tersebar di 6 lingkungan, jumlah bidan ada 1 orang dan jumlah kader 25 orang, namun berdasarkan survey dilokasi, diperoleh data bahwa cakupan penimbangan balita di Posyandu Nusa Indah Desa Bandarejo berkisar (D/S) 46% atau 22 orang di 56 orang balita (Desa Bandarejo Kecamatan Natar, 2006).
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, untuk itu perlu di cari faktor-fator yang melatar belakangi masyarakat tidak datang ke Posyandu, sehingga peneliti ingin mengetahui “Faktor-faktor Rendahnya Kunjungan Balita di Posyandu Nusa Indah di Desa Bandarejo Kecamatan Natar.”

B. Rumusan masalah
Dari data yang ada, maka masalah dalam penelitian ini adalah “Apa Faktor-Faktor Rendahnya Kunjungan Balita di Posyandu Nusa Indah di Desa Bandarejo Kecamatan Natar ?”.


READ MORE - Faktor-faktor rendahnya kunjungan balita di posyandu

Read more...

Determinan tidak dilakukannya deteksi dini kanker payudara melalui pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) oleh remaja putri kelas II di MAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kanker payudara merupakan tumor ganas ginekologi menurut Hidayati (2001) yang disadur oleh Ariyanti (2004). Berdasarkan data World Health Organization (WHO), jumlah penderita kanker payudara bertambah sekitar 7 juta. Survey terakhir di dunia menunjukkan tiap 3 menit ditemukan penderita kanker payudara dan setiap 11 menit ditemukan seorang wanita meninggal akibat kanker payudara. Sementara di Indonesia, rata-rata penderita kanker payudara adalah 10 dari 100 ribu wanita (www.suaramerdeka.com,2005).
Sejak 1988 sampai 1992 keganasan tersering di Indonesia tidak banyak berubah, kanker leher rahim dan kanker payudara tetap menduduki tempat teratas. Selain jumlah kasus yang banyak, lebih dari 70% penderita kanker payudara ditemukan pada stadium lanjut. Data dari Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departeman Kesehatan menunjukkan bahwa Case Fatality Rate (CFR) akibat kanker payudara menurut golongan penyebab sakit menunjukkan peningkatan dari tahun 1992-1993, yaitu dari 3,9 menjadi 7,8 (www.nusaindah tripod.com,2003).
Etiologi kanker payudara belum dapat dijelaskan. Terdapat faktor genetik karena kanker payudara cenderung terjadi pada keluarga (Llewellyn & Jones, 2002). Beberapa hal yang bisa menjadi faktor resiko terjadinya kanker payudara yaitu umur, status negara, status sosial ekonomi, status perkawinan, tempat tinggal, ras, berat badan, umur menarche, umur menopause, umur pertama melahirkan, riwayat keluarga dan oophorectomy ( Bustan, 1997).
Gejala permulaan kanker payudara sering tidak disadari atau dirasakan dengan jelas oleh penderita sehingga banyak penderita yang berobat dalam keadaan stadium lanjut. Hal inilah yang menyebabkan tingginya angka kematian kanker tersebut. Padahal, kematian pada stadium dini akibat kanker masih dapat dicegah. Tjindarbumi (1982) mengatakan bila penyakit kanker payudara ditemukan dalam stadium dini, angka harapan hidupnya (life expectancy) tinggi, berkisar antara 85 - 98%, sedangkan 70-90% penderita datang ke rumah sakit setelah penyakit parah, yaitu setelah masuk dalam stadium lanjut (www.nusaindah tripod.com,2003).
Payudara merupakan estetika kaum wanita dan daya tarik seksual yang utama. Terdapatnya seluruh aktivitas di dalam payudara sehubungan dengan perkembangan dalam kehidupan seorang wanita serta perubahan siklus yang biasa disebabkan oleh periode menstruasi teratur membuat semua wanita sebaiknya bermawas diri terhadap masalah yang mungkin timbul pada payudara mereka. Pemeriksaan dini yang rutin dan teratur untuk mendeteksi secara dini tumor payudara merupakan kebiasaan yang sangat baik. Seorang remaja putri dapat memeriksa payudara sendiri (SADARI) pada saat mandi dengan meggunakan jari-jari tangan sehingga dapat menemukan benjolan pada lekukan halus payudara (Gilbert,1996).
Terdapatnya sebuah benjolan yang sudah nampak dengan jelas pada payudara akan sangat mengejutkan bagi banyak wanita, pada saat ini seorang wanita mungkin telah kehilangan waktu yang berharga untuk memulai pengobatan sedini mungkin. Jadi jalan yang paling bijaksana adalah dengan melakukan SADARI secara teratur pada waktu tertentu. Kelainan yang terkecil sekalipun dapat ditemukan dan langkah-langkah aktif untuk pengobatan dapat dimulai sedini mungkin (Gilbert, 1996).
Program - program untuk mengajak wanita mempelajari dan mempraktekkan pemeriksaan payudara sendiri telah dikembangkan di banyak negara. Di samping itu, yang berwenang di bidang kesehatan telah menganjurkan wanita berusia di atas 35 tahun untuk memeriksakan payudara tahunan kepada dokter. Pemeriksaan ini harus ditambah dengan pemeriksaan mamografi pada usia antara 40-45 tahun, kemudian pemeriksaan setiap tahun mulai usia 50 tahun (Llewellyn & Jones, 2002).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan melalui wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap 10 orang remaja putri kelas II pada bulan Maret 2006, terdapat 9 orang remaja putri tidak pernah melakukan SADARI dengan alasan tidak tahu dan belum pernah mendapat informasi tentang SADARI, 1 orang remaja putri pernah melakukan SADARI karena remaja putri tersebut pernah menjalani operasi tumor payudara sehingga telah mengetahui cara dan tujuan melakukan SADARI. Meskipun kurikulum pendidikan mengenai organ reproduksi sudah diberikan, tetapi untuk masalah payudara tidak diberikan secara mendalam. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengambil judul penelitian determinan tidak dilakukannya deteksi dini kanker payudara melalui SADARI oleh remaja putri kelas II MAN 2 Metro.


READ MORE - Determinan tidak dilakukannya deteksi dini kanker payudara melalui pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) oleh remaja putri kelas II di MAN

Read more...

Faktor penyebab rendahnya pengetahuan remaja awal tentang pendidikan seks di SMP

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Tumbuh kembang adalah proses berkesinambungan yang terjadi sejak intrauterin dan terus berlangsung sampai dewasa. Dalam proses mencapai dewasa, anak harus melalui berbagai tahap tumbuh kembang termasuk tahap remaja. Tahap remaja adalah tahap transisi antara masa anak dan dewasa dimana terdapat fase tumbuh, timbul ciri-ciri seks sekunder, fertilisasi (Soetjiningsih, 2004). Pada tahap ini remaja memerlukan penyesuaian mental untuk membentuk nilai, sikap, dan minat baru terhadap perubahan fisik dan psikis (Hurlock, 1997).
Data demografi menunjukan remaja adalah populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut WHO (1995) sekitar seperlima dari penduduk dunia adalah remaja berumur 10-19 tahun. Sekitar 900 juta berada di daerah sedang berkembang. Data demografi Amerika Serikat menunjukkan remaja berumur 10-19 tahun sekitar 15% populasi. Di Asia Pasifik dimana penduduknya merupakan 60% dari penduduk dunia seperlimanya adalah penduduk remaja berumur 10-19 tahun (Soetjiningsih, 2004).
Pada masa remaja akan menguasai tugas perkembangan yang penting dalam pembentukan hubungan-hubungan baru dan yang lebih matang dengan lawan jenis, dan dalam memainkan peran yang tepat dalam seksnya (Hurlock, 1997). Remaja memiliki keingintahuan yang tinggi tentang seks, namun orang tua tidak mengenal istilah pendidikan seks, karena seks dianggap tidak biasa, aneh, dan sangat tabu, bahkan mungkin dianggap porno.Oleh karena itu pendidikan seks sangat diperlukan karena dengan seks diusahakan timbulnya sikap emosional yang sehat dan bertanggung jawab tentang seks sehingga seks bagi remaja tidak dianggap sesuatu yang kabur, rahasia, mencemaskan bahkan menakutkan (Gunarsa, 2001).
Pada zaman modern sekarang muncul pula sekelompok remaja yang menyebarluaskan kebebasan ekstrim dalam seks. Ide kebebasan seks dicetuskan karena remaja beranggapan bahwa masalah seks sepenuhnya adalah masalah prive, dan masyarakat sama sekali tidak berhak mencampuri masalah tersebut. Mereka menuntut adanya tingkah laku seks murni individual yang kokoh berdasarkan dokrin kebebasan seks sepenuhnya (Kartono, 1992).
Kenyataan menunjukan bahwa, seks bebas dapat mengakibatkan banyaknya destruksi dikalangan kaum remaja, baik remaja pria maupun wanita (Kartono, 1992). Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Boyke Dian Nugraha, pada tahun 2000 terdapat remaja yang pernah melakukan hubungan seks pranikah mencapai 29,9%. Kelompok remaja yang masuk penelitian tersebut rata-rata berusia 17-21 tahun, dan umumnya masih bersekolah di tingkat SLTP dan SLTA (seksremaja.online, 2007).
Harapan sosial berkembang dalam bentuk tugas bagi orang tua dan guru untuk memberikan pendidikan tentang seks kepada putra putrinya. Remaja juga seharusnya sadar bahwa mulai memasuki tahap baru dalam kehidupan, yaitu tahap dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa (Hurlock, 1997).
Berdasarkan uraian diatas, didapat bahwa rendahnya pengetahuan remaja awal tentang seks dipengaruhi oleh faktor keluarga dan faktor lingkungan social, karena kedua faktor ini menganggap seks sebagai hal yang tidak pantas untuk dibicarakan. Oleh karena itu peneliti tertarik melakukan penelitian tentang hal tersebut agar remaja awal dapat lebih mengenal tentang seks yang terdiri dari perubahan organ reproduksi, hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan, serta kelainan-kelainan seksual.
Peneliti mengambil lokasi penelitian di SLTP Negeri 3 Metro karena setelah dilakukan studi pendahuluan ternyata di SLTP Negeri 3 Metro belum pernah dilakukan penyuluhan dan siswa belum mengetahui faktor penyebab rendahnya pengetahuan remaja awal tentang pendidikan seks.


READ MORE - Faktor penyebab rendahnya pengetahuan remaja awal tentang pendidikan seks di SMP

Read more...

Blog Archive

  © Free Medical Journal powered by Blogger.com 2010

Back to TOP